TOMBOL MASUK




Popular Posts

NILAI-NILAI KEMENTERIAN KEUANGAN

Kementerian Keuangan yang menjadi pilot project Reformasi Birokrasi kembali membuat “gebrakan”. Pada tanggal 28 dan 29 Juli 2011 diadakan rapat kerja yang dihadiri oleh para pejabat Eselon I dan II. Rapat kerja tersebut bertujuan untuk merumuskan sebuah karya besar yang nantinya akan digunakan sebagai guidance para pegawai dalam melaksanakan tugasnya. Setelah melalui babak demi babak diskusi kelompok, akhirnya lahirlah karya besar tersebut yang kemudian diberi nama NILAI-NILAI KEMENTERIAN KEUANGAN. Ia merupakan hasil buah pikiran dari setidaknya 76 orang pejabat eselon I dan II di lingkungan Kementerian Keuangan.

Apa saja nilai-nilai yang telah diresmikan dan akan (baca: harus) menghiasi hari demi hari perjalanan tugas para pegawai Kementerian Keuangan tersebut? Berikut uraiannya.

1. INTEGRITAS
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, integritas berarti: 

a .mutu, sifat, atau keadaan yg menunjukkan kesatuan yg utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yg memancarkan kewibawaan;

b. kejujuran.
Sedangkan integritas menurut Nilai-Nilai Kementerian Keuangan adalah berpikir, berkata, berperilaku dan betindak dengan baik dan benar serta memegang teguh kode etik dan prinsip-prinsip moral.
Ada 2 perilaku utama untuk menjadi pegawai Kementerian Keuangan yang berintegritas, yaitu:
a. Bersikap jujur, tulus dan dapat dipercaya
b. Menjaga martabat dan tidak melakukan hal-hal tercela
Maka dapat disimpulkan bahwa integritas mensyaratkan seseorang untuk :
- jujur (mengatakan kebenaran, tidak berbohong)
- memiliki kepribadian yang utuh sehingga memancarkan kewibawaan
- memegang teguh pinsip yang sesuai dengan moral
- dapat dipercaya
Ini mengingatkan penulis pada sebuah hadits Rasulullah SAW yang menyebutkan 3 sifat orang munafiq, yaitu bohong ketika berbicara, tidak menepati janji dan berkhianat ketika diberi kepercayaan. Seolah-olah integritas merupakan oposisi dari kemunafikan. Orang yang memiliki integritas berarti jauh dari sifat munafik, sedangkan orang yang memiliki sifat munafik adalah mereka yang tidak punya integritas.
Ada contoh dekat yang dapat dijadikan teladan penerapan pribadi yang berintegritas. Beliau adalah Bung Hatta, sang proklamator kemerdekaan Indonesia. Diceritakan oleh anaknya, Meutya Hatta, bahwa ibunya pernah punya keinginan membeli sebuah mesin jahit. Saat itu bung Hatta menjabat sebagai Wakil Presiden. Tentu saja jabatan ini sangat memungkinkan beliau untuk memiliki fasilitas apapun yang diinginkan. Namun bagi isteri Bung Hatta, memiliki sebuah mesin jahit memerlukan sebuah pengorbanan panjang. Ia harus menabung sedikit demi sedikit dari uang yang diberikan untuk kebutuhan sehari-hari.
Ketika tabungan sudah mulai banyak, tiba-tiba Pemerintah Indonesia mengumumkan kebijakan sanering, yaitu pemotongan nilai rupiah dari Rp. 100 menjadi Rp. 1. Akibatnya, uang yang ditabung makin jauh dari jumlah yang diperlukan untuk membeli mesin jahit. Bu Rahmi Hatta kemudian mengeluh kepada suaminya, mengapa informasi akan diadakannya sanering tidak disampaikan padanya. Jika tahu, tentu ia akan segera membelanjakan uang tabungan selagi nilainya masih tinggi. Dengan kalem, bung Hatta menjawab bahwa itu adalah rahasia negara yang tidak boleh dibocorkan kepada siapapun. Beliau tidak memberitahu isterinya karena khawatir informasi tersebut nanti disampaikan kepada ibu mertuanya, lalu menyebar kepada anggota keluarga atau sahabat dekat yang lain.
Lihatlah, betapa hebatnya pribadi tokoh besar ini. Beliau memperlihatkan integritas yang sangat tinggi, dimana kepercayaan yang telah diberikan oleh masyarakat dan negaranya tidak bisa dinodai oleh kepentingan apapun, sekalipun untuk keluarga yang paling dekat. Bahkan impian yang sangat sederhana dari seorang isteri (hanya membeli mesin jahit, itupun pakai uang sendiri) tidak mampu menggoyahkan prinsip amanah sang Wakil Presiden. ‘Aksi tutup mulut’ beliau lakukan untuk mencegah conflict of interest yang mungkin muncul dalam keluarganya. Seolah-olah beliau memberi pesan bahwa seseorang hanya mampu menjamin kontrol atas dirinya sendiri, namun tidak bisa menjamin bahwa orang lain (orang terdekat sekalipun) mampu berbuat yang sama. Oleh karenanya, daripada repot-repot mencari solusi jika masalah sudah timbul, lebih baik mencegahnya sedini mungkin.


2. PROFESIONALISME
Berdasarkan nilai-nilai Kementerian Keuangan, profesionalisme berarti bekerja tuntas dan akurat atas dasar kompetensi terbaik dengan penuh tanggung jawab dan komitmen yang tinggi. Untuk mewujudkannya, ada 2 perilaku utama yang harus dimiliki, yaitu:
a. Mempunyai keahlian dan pengetahuan yang luas
b. Bekerja dengan hati
Setiap pekerjaan mensyaratkan pelakunya untuk memiliki keahlian dan ketramplilan tertentu yang disebut dengan spesialisasi. Seorang profesional dituntut menguasai keahlian dan pengetahuan yang dibutuhkan oleh spesialisasinya. Untuk itu diperlukan kesediaan meng-upgrade diri dengan belajar terus menerus agar mampu beradaptasi dengan situasi dan kondisi lingkungan kerja yang akan selalu berubah dari waktu ke waktu. Tidak ada kata cukup, berhenti, apalagi menyerah dalam pengembangan diri. Merasa sudah cukup hebat dan berpengalaman berarti merelakan diri untuk dicap sebagai “pengenang masa lalu”. Berhenti belajar berarti merelakan dirinya menjadi, maaf, bodoh. Merasa tidak mampu lalu menyerah berarti merelakan diri untuk ditinggalkan. Maka, seorang profesional akan terus mencari cara untuk menjadi yang terbaik.
Profesionalisme memerlukan apa yang disebut para ahli sebagai hard competency dan soft competencyHard competency mengacu pada keahlian dan ketrampilan, yakni yang berhubungan dengan kemampuan teknis dan fungsional suatu pekerjaan. Sedangkan soft competency mengacu pada sikap dan perilaku ketika bekerja.
Dikatakan bahwa selain bertanggung jawab secara teknis, seorang profesional juga perlu mengerti tentang etiket. Etiket mengacu pada norma sopan santun dan tata krama yang biasanya berpedoman pada adat istiadat. Dengan berbekal keahlian teknis dan pemahaman tentang etiket, seorang profesional akan menghasilkan produk yang bermutu dan dapat dipertanggungjawabkan secara moral. Ia tidak akan menjadi orang pintar yang suka membodohi, membohongi dan menipu orang lain ataupun pejabat yang menghambat; namun, ia adalah orang pintar yang rendah hati, orang rajin yang ikhlas, dan pekerja keras yang peduli dan senang membantu.


3. SINERGI
Tidak ada seorangpun yang dapat hidup tanpa orang lain. Itulah mengapa Allah menciptakan bermacam-macam makhluk hidup dengan keunikannya masing-masing. Bahkan manusia diciptakan dengan beragam suku, adat istiadat, sifat, dan keadaan. Tujuannya adalah agar mereka saling mengenal. Jika sudah mengenal, mereka dapat berkerjasama. Dari kerjasama inilah mereka dapat melakukan, menemukan dan menciptakan hal-hal besar. Istilah keren yang sering digunakan untuk kerjasama adalah sinergi.
Menurut nilai-nilai Kementerian Keuangan, sinergi adalah membangun dan memastikan hubungan kerjasama internal yang produktif serta kemitraan yang harmonis dengan para pemangku kepentingan untuk menghasilkan karya yang bermanfaat dan berkualitas. Dari pengertian ini terlihat dua dimensi sinergi yang selayaknya terjalin, yaitu dimensi internal dan dimensi ekternal.
Dalam dimensi internal, kerjasama antar pegawai (sebut saja di sebuah kantor) diharapkan dapat menghasilkan produk-produk yang bermanfaat dan berkualitas. Kantor tersebut dipenuhi oleh orang-orang yang memahami tujuan. Mereka juga mengerti apa yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Kemudian mereka juga paham bahwa pencapaian tujuan sangat tergantung pada pekerjaan semua orang yang ada di kantor tersebut. Itu membuat mereka berlomba melakukan yang terbaik untuk kantornya dan juga untuk setiap orang yang ada di sana. Jika salah seorang anggota mengalami masalah atau kendala, mereka akan segera membantu menyelesaikannya. Tidak ada yang merasa lebih penting dari yang lain. Semua saling mendukung karena sadar bahwa tujuan tidak akan tercapai jika salah satu pihak tidak dapat bekerja.
Selanjutnya, dalam dimensi eksternal, karya bermanfaat dan berkualitas akan dihasilkan dari kemitraan yang harmonis antara organisasi dengan para pemangku kepentingan (stakeholders).
Pemangku kepentingan dapat diartikan sebagai pihak-pihak (individu maupun kelompok) yang berhubungan dengan suatu organisasi, dan pada prakteknya mempengaruhi atau dipengaruhi oleh keputusan, kebijakan dan tindakan dari organisasi tersebut. Mereka memiliki kedudukan penting yang dapat mempengaruhi eksistensi organisasi. Oleh karenanya, organisasi yang baik adalah yang peduli dengan kebutuhan dan kepentingan stakeholders nya. Demikian pula sebaliknya, stakeholdersseyogyanya menghormati dan mempercayai bahwa organisasi dapat memenuhi ekpektasi mereka. Ini akan menciptakan hubungan yang saling memberi manfaat dan produktif bagi kedua belah pihak.
Inilah yang disebut sebagai perilaku utama sinergi di dalam nilai-nilai Kementerian Keuangan, yaitu:
a. Memiliki sangka baik, saling percaya dan menghormati
b. Menemukan dan melaksanakan solusi terbaik


4. PELAYANAN
Saat ini kita tengah berada dalam masa dimana instansi pemerintah diharapkan mampu memberi pelayanan yang kompetitif dengan sektor swasta. Sektor swasta, dengan profit orientation-nya, terkenal dengan pelayanan prima (exelent service). Mereka menjalankan falsafah bahwa kepuasan pelayanan tergantung pada kemampuan service provider memberikan pelayanan yang dapat memenuhi (kalau bisa melebihi) ekspektasi pelanggan. Nilai ini yang kemudian diadopsi dalam pelayanan publik.
Dalam pengertian Kementerian Keuangan, pelanggan berarti pemangku kepentingan. Maka, pelayanan yang dimaksud adalah memberikan layanan yang memenuhi kepuasan pemangku kepentingan yang dilakukan dengan sepenuh hati, transparan, cepat, akurat dan aman. Aplikasinya, ada 2 perilaku utama yang dibutuhkan, yaitu:
a. Melayani dengan berorientasi pada kepuasan pemangku kepentingan
b. Bersikap proaktif dan cepat tanggap
Untuk memenuhi kepuasan para pemangku kepentingan, tidak bisa tidak, service provider perlu mengetahui apa yang mereka inginkan dan butuhkan. Logikanya, para pemangku kepentingan akan merasa puas jika sang penyedia layanan mampu menyuguhkan apa yang menjadi keinginan dan kebutuhan mereka dengan cara yang menyenangkan. Disinilah perlunya sikap proaktif dan cepat tanggap dari penyedia layanan. Service provider perlu mencari data sebanyak-banyaknya tentang mereka. Sebut saja data-data berupa profil, visi, misi, kepegawaian, dsb. Data tersebut menjadi dasar dalam menyusun rencana kegiatan agar benar-benar tepat sasaran dan tidak mubazir.
Misalnya, diketahui bahwa saat ini persaingan dalam dunia usaha semakin tinggi dan memerlukan tindakan dan keputusan yang cepat dan tepat. Organisasi dan unit usaha yang unggul adalah yang cepat bertindak dalam menangkap setiap peluang. Maka, pelayanan yang cepat dan pasti dari birokrasi menjadi hal yang sangat penting dalam melayani kebutuhan pemangku kepentingan.
Contoh konkritnya, kecepatan dalam pelayanan birokrasi adalah faktor yang sangat vital bagi kelancaran usaha pada perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang ekspor impor,. Pelayanan yang cepat dan pasti akan menjadi nilai tambah bagi mereka dalam memenangkan persaingan di tingkat global. Sebaliknya, keterlambatan dan ketidakpastian pelayanan akan mengakibatkan kerugian yang cukup besar bagi perusahaan. Berdasarkan data tersebut, maka organisasi perlu mempertimbangkan dan menyusun kebijakan serta kegiatan dalam hal memberi pelayanan yang cepat dan pasti.


5. KESEMPURNAAN
Berdasarkan Nilai-nilai Kementerian Keuangan, kesempurnaan berarti senantiasa melakukan upaya perbaikan terus menerus di segala bidang untuk menjadi dan memberikan pelayanan yang terbaik. Perilaku utama kesempurnaan adalah:
a. Melakukan perbaikan terus menerus
b. Mengembangkan inovasi dan kreativitas
Orang bijak mengatakan, orang yang baik bukanlah orang yang tidak pernah melakukan kesalahan. Namun, orang yang baik adalah orang yang mau belajar dari kesalahan untuk kemudian memperbaikinya. Demikian pula sebuah organisasi. Untuk meraih prestasi terbaik, ia perlu melakukan evaluasi dan perbaikan terus menerus sehingga pada akhirnya dapat menghasilkan prestasi yang sempurna. Untuk mencapai kualitas maksimal, ia bahkan perlu menantang dirinya untuk terus berkembang. Pada saat itulah akan muncul berbagai kreativitas dan inovasi.
Untuk masalah perbaikan dan pengembangan, negara Jepang patut menjadi contoh. Negara ini telah beberapa kali mengalami musibah besar. Ada serangan bom atom di dua kota besar Hiroshima dan Nagasaki, ada pula serangan tsunami disertai ancaman radiasi nuklir dari reaktor yang rusak. Semua dapat memporak porandakan berbagai sendi kehidupan. Namun, rakyat Jepang tidak pernah menyerah. Mereka selalu mampu bangkit dan memperbaiki kondisinya. Bahkan, hingga saat ini mereka mampu membuktikan bahwa negaranya tetap berada di posisi depan dalam hal kesejahteraan ekonomi dan kemajuan teknologi.     
Ini barangkali merupakan manifestasi dari falsafah Kaizen yang dianut di Jepang. Di Jepang dikenal istilah Kaizen yang berarti fokus pada usaha meningkatkan kualitas produk dan jasa secara terus menerus. Kaizen dapat diartikan sebagai “perbaikan yang berkesinambungan.” Dalam falsafah Kaizen, tidak dikenal rasa puas yang instan dan tidak ada istilah titik puncak dimana sebuah hasil dianggap telah maksimal. Dengan kata lain, harus ada usaha untuk selalu melakukan peningkatan. Pada penerapannya dalam perusahaan, kaizen mencakup pengertian perbaikan berkesinambungan yang melibatkan seluruh pekerjanya, dari manajemen tingkat atas sampai manajemen tingkat bawah.


Penutup
Hingga tulisan ini selesai disusun, Nilai-Nilai Kementerian Keuangan telah menginjak usia kurang lebih 4 bulan. Ada harapan dan cita-cita besar di dalamnya. Ada juga gambaran indah dan memukau jika semua itu terimplementasi dengan baik dan “sempurna”. Bahkan telah tercipta rasa bangga dan kagum ketika ia masih berupa “benih” rumusan, disaat segala sesuatu baru akan dimulai. Betapa indahnya menjadi pribadi yang bernilai ….


0 komentar:

Posting Komentar

@aryadwari. Diberdayakan oleh Blogger.